PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Pemikiran Politik Islam Zaman Klasik ( Ibnu Abi Rabi’
dan Al- Farabi)
Dibawah pemerintahan Abbasyiah dunia ilmu pengetahuan mengalami
masa keemasan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun
kekuasaan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para
penguasa waktu itu kegiatan para ilmuan dari berbagai cabang ilmu amat
melonjak. Para ahli bahasa Arab dengan penuh gairah menyusun kaidah-kaidah
bahasa – nahwu dan sharaf. Kritik sastra makin riuh. Pada masa
itu pulalah tersusun buku-buku kumpulan Hadis, termasuk Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim. Dalam bidang ilmu hukum Islam (fiqh) madzhab-madzhab
bermunculan.
Makmun, Khalifah Abbasyiah yang ketujuh, sangat besar perhatiannya
kepada pengembangan ilmu pengetahuan, tidak terbatas pada ilmu-ilmu agama dan
sosial, tetapi juga ilmu lain seperti ilmu pasti dan ilmu alam. Dia juga
terkenal sebagai pengagum ilmu-ilmu Yunani, termasuk filsafatnya. Maka beliau
memerintahkan melengkapi perpustakaan negara Bait Al-Hikmah dengan buku-buku
asing disamping buku-buku Islam, dan untuk itu memerintahkan membeli
karya-karya tulis Yunani kemudian disalin kedalam bahasa arab.
Dengan demikian, perkenalan para ilmuan Islam dengan alam pikiran
Yunani makin meluas dan mendalam, yang pada waktunya akan menimbulkan perhatian
dan hasrat dikalangan sarjana-sarjana Islam untuk mempelajari masalah-masalah
kenegaraan secara rasional, dan kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam yang
mengemukakan gagasan atau konsepsi politiknya melalui karya tulis.
Sarjana Islam pertama yang menuangkan gagasan atau teori politiknya
dalam suatu karya tulis adalah Syihab al-Din Ahmad Ibnu Abi Rabi’, yang hidup
di Baghdad semasa pemerintahan Mu’tashim, khalifah Abbasyiah kedelapan, putra
Harun Rasyid dan yang menggantikan kakaknya, Makmun. Setelah Ibnu Rabi’
kemudian menyusul pemikir-pemikir seperti Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu
Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Mereka
itu kiranya dapat kita anggap sebagai eksponen- eksponen yang mewakili
pemikiran politik didunia Islam pada Zaman Klasik[1]
1.
Ibnu Abi Rabi’
Tidak banyak
yang kita ketahui tentang ilmuan politik Islam itu selain sebagai penulis buku
yang berjudul Suluk al-malik fi tadbir al-mamalik (Perilaku Raja dalam
Pengelolaan Kerajaan-kerajaan), yang dipesembahkan kepada Mu’tashim, khalifah
Abbasyiah kedelapan yang memerintah pada abad IX Masehi. Buku itu dimaksudkan
agar dipergunakan sebagai manual atau “buku pintar” oleh kepala negara itu.
Karena buku itu oleh Ibnu Abi Rabi’ ditulis untuk dipersembahkan kepada kepala
negara yang sedang berkuasa dapatlah dipastikan bahwa penulis buku itu tidak
akan mempertanyakan keabsahan sistem monarki turun temurun Abbasyiah, dan
sebaliknya bahkan mendukungnya.
Sementara itu memang dinasti Abbasiyah semasa pemerintahan
mu’tashim masih berada pada puncak kejayaannya. Dalam kata pendahuluan buku
itu, Ibnu Abi Rabi’ mengatakan “adalah satu kebahagiaan bagi umat pada zaman
ini bahwa pemimpin mereka, pengemban kekuasaan politik mereka dan raja mereka
adalah seorang yang pada dirinya berkumpul segala kualitas yang baik, tambang
dari segala watak luhur dan pengumpul dari segala yang terpuji, panutan mereka,
pemimpin dan raja mereka, khalifah Allah bagi hamba-hambanya dan yang berjalan
diatas jalan yang benar, Mu’tashim bi-Allah, Amir al-Mu’minin, keturunan
Al-Khulafa al-Rasyidin, yang melaksanakan hukum secara benar dan adil, yang
memiliki semua persyaratan bagi jabatan khalifah dan imamah, dan yang karena
meratanya keadilan dan keamanan maka semua bangsa tunduk kepadanya, semua
kerajaan takluk kepadanya, dan baik lawan maupun kawan dari kalangan bangsawan
hormat dan segan kepadanya”. Juga sesuai dengan judulnya, sebagaian besar dari
isi buku itu berupa nasihat-nasihat kepada khalifah tentang bagaimana menangani
masalah-masalah kenegaraan, termasuk bagaimana memilih pembantuan dan pejabat
Negara, serta hubungan kerja antara khalifah dengan mereka. Tetapi sekalipun
demikian dapat pula dilihat alur-alur pemikiran tentang tata negara.
Ibnu Abi Rabi’
Bentuk
Pemerintahan
Setelah lahir kota atau negara maka timbul masalah tentang otak
masalah pengelola negara itu, yang memimpinnya, mengurus segala permasalahan
rakyatnya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin suatu negara berdiri tanpa
penguasa. Pemimpin atau pengelola yang melindungi warga-warganya dari gangguan
dan bahaya yang timbul di antara mereka sendiri atau yang datang dari luar.
Sebgaimana Plato, Ibnu Abi Rabi’ juga berpendapat bahwa seyogyanya penguasa
atau pemimpin tersebut seorang yang termulia di negara atau kota itu, oleh
karena seorang yang hendak melarang orang lain dari berbuat sesuatu dan
memerintahkan warga lain untuk berbuat sesuatu haruslah orang yang dapat
memberikan contoh terlebih dahulu.
Dari sekian banyak
bentuk pemerintahan, Ibnu Abi Rabi’ memilih monarki atau kerajaan di
bawah pimpinan seorang raja atau penguasa tunggal, sebagai bentuk yang terbaik.
Dia menolak bentuk-bentuk lain seperti aristokrasi, yaitu pemerintahan
yang berada di tangan sekelompok kecil orang-orang pilihan atas dasar keturunan
atau kedudukan. Oligarki, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh
sekelompok kecil orang kaya. Demokrasi, yaitu negara diperintah langsung
oleh seluruh warga negara. Dan lebih-lebih demagogi, yaitu apabila para
warganya memanfaatkan hak-hak politiknya yang diberikan oleh demokrasi secara
tidak bertanggung jawab, yang kemudian menimbulkan kekacauan atau anarki. Alasan
utama mengapa Ibnu Abi Rabi memilih monarki sebagai bentuk pemerintahan yang
terbaik adalah keyakinannya bahwa dengan banyak kepala, maka politik negara
akan kacau dan sukar membina persatuan.
Dalam hubungan ini
dapat dikemukakan bahwa menurut Aristoteles terdapat tiga macam pemerintahan: pertama,
yang dipimpin oleh seseorang. Kedua, yang dipimpin oleh sejumlah
orang pilihan. Dan ketiga, yang diperintah secara langsung oleh semua
warga negara. Pemerintahan di bawah seorang, tetapi dilaksanakan untuk
kepentingan umum, oleh Aristoteles disebut kerajaan atau monarki.
Pemerintahan yang dilakukan oleh segolongan kecil warga negara disebut aristokrasi,
oleh karena mereka yang memerintah itu merupakan warga-warga pilihan dan
terbaik, dan oleh karena perhatian mereka adalah kepentingan negara serta
kebaikan seluruh warga negara. Kalau negara dikelola langsung oleh seluruh
warga negara untuk kepentingan bersama, pemerintahan semacam itu disebut konstitusi.
Tetapi kalau sang raja atau penguasa tunggal ini menyeleweng, perhatian
tidak lagi pada kepentingan rakyat dan negara, serta bergeser kepada
kepentingan pribadi raja, maka tidak lagi dapat disebut monarki tetapi tirani.
Demikian juga aristokrasi, kalau titik berat perhatiannya hanya pada
kepentingan golongan tertentu, yakni mereka yang berkedudukan tinggi dan
berada, disebut oligarki. Kalau perhatian pemerintahan konstitusi
menjadi terbatas kepada kepentingan warga negara yang miskin saja, disebut demokrasi.
Pengaruh agama dan loyalitas kepada
dinasti Abbasyiah juga tampak pada Ibnu Abi Rabi’ tentang dasar kekuasaan raja.
Aristoteles, yang berpendirian bahwa monarki adalah bentuk pemerintahan yang
terbaik, memberikan alasan rasional mengenai kekuasaan istimewa untuk raja
dengan menyatakan bahwa seorang raja “yang memiliki segala keutamaan” yang seba
lebih dari para warga negara, tidak dapat dianggap sebagai bagian dari negara,
dantidak harus tunduk kepada hukum negara seperti warga-warga yang lain.
Bahkan, raja metupakan hukum, sumber dan pelaksana hukum. Karena serba lebih
dalam segala keutamaan dan kemampuan politik, seorang raja berhak memaksakan
pandangan dan perintahnya tanpa merusak keserasian hubungan dengan negara
selama kebijaksanaannya tetap untuk kepentingan negara. Ibnu Abi Rabi’ mencari
dasar bagi otoritas dan hak istimewa raja dari ajaran agama. Dia mengatakan,
Allah telah memberikan keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan,
telah memperkokoh kedudukan mereka di bumi-Nya. Kepada mereka. Dalam hubungan
ini dia mengemukakan dua ayat Al-Qur’an berikut ini:
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u ßìÎ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
Artinya:
“dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat
siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-An’am:
165)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa: 59)
Dari
pernyataan Ibnu abi Rabi’ tersebut tampak bahwa menurut dia daasar kekuasaan
dan otoritas raja adalah mandat dari Tuhan, yang telah memberikan kedudukan
istimewa kepada mereka dengan keutamaan dan keunggulan, telah memperkokoh
kekuasaan mereka di negara mereka, dan telah memberikan hak kepada mereka untuk
memerintah hamba-hamba-Nya, dari semua tingkatan, untuk taat dan tunduk kepada
mereka. Demi kesejahteraan negara.
Tentang
siapa yang berhak menjadi raja, Ibnu Abi Rabi’ mengemukakan enam syarat yang
harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat menjadi raja:
1. Harus
anggota dari keluarga raja, dan mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja
sebelumnya.
2. Aspirasi
yang luhur
3. Pandangan
yang mantap dan kokoh.
4. Ketahanan
dalam menghadapi kesukaran/tantangan.
5. Kekayaan
yang besar.
6. Pembantu-pembantu
yang setia.
Suatu hal yang
cukup menarik, bahwa berbeda dengan kebanyakan pemikir-pemikir politik Islam,
dia tidak menjadikan keturunan Quraisy sebagai sebagai salah satu syarat untuk
dapat menduduki jabatan khalifah atau kepala negara. Baginya cukup kalau calaon
raja itu seorang anggota keluarga dekat dengan raja sebelum dia. Sikap “lunak”
Ibnu Abi Rabi’ ini mungkin disebabkan oleh karena Dinasti Abbasyiah semasa
pemerintahan Khalifah Mu’tashim masih sedemikian kokoh, sehingga tidak
terbayangkan jabatan kepala negara dapat jatuh ke pihak lain di luar keturunan
Abbas, yaitu salah satu cabang dari Bani (keturunan) Hasyim, salah satu
komponen terkemuka dari suku Quraisy. Ibnu Abi Rabi’ tidak menyinggung pula
cara pengangkatan para kepala negara, oleh karena sebagaimana semasa kekuasaan
Umawiyah dalam “kamus politik” Abbasyiah tidak ada sistem lain kecuali
turun-temurun, bahkan lebih ketat dan kental.
2.
Al-Farabi
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, demikian
nama lengkapnya, dilahirkan di Utrar[2]
(Farab) pada 257 H/870 M, Ayahnya adalah seorang jenderal berkebangsaan Persia
dan Ibunya berkebangsaan Turki. dan Ia meninggal dunia di Damaskus pada 339
H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius.[3]
Konon dia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; yang
pasti dia menguasai secara penuh empat bahasa: Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.
Pada usia sedikit diatas empat puluh tahun dia meninggalkan Farab, pergi ke
Baghdad yang pada waktu itu merupakan ibukota Ilmu Pengetahuan, dan berguru
pada Ilmuwan Kristen Nastura terkenal, Abu Bisyir Matta bin Yunus, penerjemah
banyak karya tulis Plato dan pemikir-pemikir Yunani yang lain. Belum puas
dengan apa yang didapatnya dari guru itu, Farabi berguru ke Ilmuwan Kristen
yang lain di Harran, Yuhana bin Heilan, pada zaman pemerintahan Khalifah
Abbasiyah Muqtadir. Kemudian dia belajar ilmu bahasa, logika (manthiq),
ilmu pasti, kedokteran dan musik, dari guru-guru lain, diantaranya Abu Bakar
bin Siraj.
Al-Farabi mukim selama dua puluh tahun di Baghdad dan kemudian
tertarik oleh pusat kebudayaan lain di Aleppo. Disana, ditempat orang-orang
brilian dan para sarjana, Istana Saif al-Daulah, berkumpul para penyair, ahli
bahasa, filosof, sarjana-sarjana kenamaan lainnya. Meski ada simpati kuat
kearaban dari istana tersebut, namun tidak ada rasa ke-ras-an atau prasangka
yang dapat merusak suasana intelektual dan kultural, yang didalamnya
orang-orang Persia, Turki, dan Arab berdiskusi dan berdebat, sepakat, atau
berbeda pendapat tanpa mencari keuntungan pribadi dalam menuntut ilmu
pengetahuan. Di Istana tersebut, Al-farabi tinggal. Kehidupan yang gemerlap dan
kemegahan istana itu tidak mempengaruhinya. Ia membebani dirinya dengan tugas
berat seorang sarjana dan pengajar; ia menulis buku-buku dan artikel-artikel
dalam suasana gemericik air sungai dan di bawah dedaunan pohon yang rindang.[4]
Al-Farabi terkenal sebagai salah satu tokoh filusuf Islam yang
memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuwan, dan memandang filsafat secara
utuh, sehingga filsuf Islam yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu
Rusyd, banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Ia berusaha untuk
mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles melalui
risalahnya al-jam’u Baina Ra’yay al-Hakimain, Aflathun wa Aristhu. Dalam
bidang filsafat ia digelar dengan al-Mu’allim al-Tsani (Guru Kedua),
sedang yang digelari sebagai al-Mu’allim al-Awwal (Guru Pertama) ialah
Aristoteles.[5]
Hasil karya Al-Farabi sebenarnya sangat banyak, akan tetapi sangat
sedikit yang sampai kepada kita (dikenal masyarakat).boleh jadi karena
karangan-karangan Al-Farabi hanya berupa risalah (karangan pendek), dan sedikit
sekali yang berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan
karangannya telah hilang dan yang masih ada kurang lebih 30 buah saja yang
ditulis daam bahasa arab.
Pada Abad pertengahan, Al-Farabi sangat terkenal sehingga
orang-orang yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangannya dan
menerjemahkannya kedalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang salinan-salinan
tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di Eropa. Disamping
karya-karya Al-farabi tersebut diatas, ia juga menulis karya-karya lain
seperti:[6]
1.
Tahshil
al-Sa’adah (Jalan Mencapai Kebahagiaan);
2.
Ara-ahl
Al-Madinah Al-Fadhilah (
Pandangan-pandangan Para penghuni Negara yang Utama)
3.
‘Uyun
al-Masa’il (Pokok-Pokok persoalan)
4.
Al-Siyasah
al-Madaniyah (politik
Kenegaraan)
5.
Ihsha’
al-Ulum ( Statistik Ilmu)
[1] H.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hal. 41-42
[2] Kota ini
dahulu bernama Wasij, dan sekarang Utrar, termasuk wilayah Iran, namun
belakangan menjadi bagian dari republik Uzbekistan.
[3] Umar
Amir Hosein, Kultur Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 32
[4] M.M.
Syarif, M.A. Para Filosof Muslim, hal.57-58
[5] A.
Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), hal.89
[6] Muhammad Iqbal, H. Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, hal.
6-7