Sabtu, 26 Januari 2013

Makalah Al-Farabi dan Ibnu Abi-Rabi


PEMBAHASAN

A.      Perkembangan Pemikiran Politik Islam Zaman Klasik ( Ibnu Abi Rabi’ dan Al- Farabi)

Dibawah pemerintahan Abbasyiah dunia ilmu pengetahuan mengalami masa keemasan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun kekuasaan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para penguasa waktu itu kegiatan para ilmuan dari berbagai cabang ilmu amat melonjak. Para ahli bahasa Arab dengan penuh gairah menyusun kaidah-kaidah bahasa – nahwu dan sharaf. Kritik sastra makin riuh. Pada masa itu pulalah tersusun buku-buku kumpulan Hadis, termasuk Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam bidang ilmu hukum Islam (fiqh) madzhab-madzhab bermunculan.
Makmun, Khalifah Abbasyiah yang ketujuh, sangat besar perhatiannya kepada pengembangan ilmu pengetahuan, tidak terbatas pada ilmu-ilmu agama dan sosial, tetapi juga ilmu lain seperti ilmu pasti dan ilmu alam. Dia juga terkenal sebagai pengagum ilmu-ilmu Yunani, termasuk filsafatnya. Maka beliau memerintahkan melengkapi perpustakaan negara Bait Al-Hikmah dengan buku-buku asing disamping buku-buku Islam, dan untuk itu memerintahkan membeli karya-karya tulis Yunani kemudian disalin kedalam bahasa arab.
Dengan demikian, perkenalan para ilmuan Islam dengan alam pikiran Yunani makin meluas dan mendalam, yang pada waktunya akan menimbulkan perhatian dan hasrat dikalangan sarjana-sarjana Islam untuk mempelajari masalah-masalah kenegaraan secara rasional, dan kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam yang mengemukakan gagasan atau konsepsi politiknya melalui karya tulis.
Sarjana Islam pertama yang menuangkan gagasan atau teori politiknya dalam suatu karya tulis adalah Syihab al-Din Ahmad Ibnu Abi Rabi’, yang hidup di Baghdad semasa pemerintahan Mu’tashim, khalifah Abbasyiah kedelapan, putra Harun Rasyid dan yang menggantikan kakaknya, Makmun. Setelah Ibnu Rabi’ kemudian menyusul pemikir-pemikir seperti Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Mereka itu kiranya dapat kita anggap sebagai eksponen- eksponen yang mewakili pemikiran politik didunia Islam pada Zaman Klasik[1]
1.    Ibnu Abi Rabi’
Tidak banyak yang kita ketahui tentang ilmuan politik Islam itu selain sebagai penulis buku yang berjudul Suluk al-malik fi tadbir al-mamalik (Perilaku Raja dalam Pengelolaan Kerajaan-kerajaan), yang dipesembahkan kepada Mu’tashim, khalifah Abbasyiah kedelapan yang memerintah pada abad IX Masehi. Buku itu dimaksudkan agar dipergunakan sebagai manual atau “buku pintar” oleh kepala negara itu. Karena buku itu oleh Ibnu Abi Rabi’ ditulis untuk dipersembahkan kepada kepala negara yang sedang berkuasa dapatlah dipastikan bahwa penulis buku itu tidak akan mempertanyakan keabsahan sistem monarki turun temurun Abbasyiah, dan sebaliknya bahkan mendukungnya.
Sementara itu memang dinasti Abbasiyah semasa pemerintahan mu’tashim masih berada pada puncak kejayaannya. Dalam kata pendahuluan buku itu, Ibnu Abi Rabi’ mengatakan “adalah satu kebahagiaan bagi umat pada zaman ini bahwa pemimpin mereka, pengemban kekuasaan politik mereka dan raja mereka adalah seorang yang pada dirinya berkumpul segala kualitas yang baik, tambang dari segala watak luhur dan pengumpul dari segala yang terpuji, panutan mereka, pemimpin dan raja mereka, khalifah Allah bagi hamba-hambanya dan yang berjalan diatas jalan yang benar, Mu’tashim bi-Allah, Amir al-Mu’minin, keturunan Al-Khulafa al-Rasyidin, yang melaksanakan hukum secara benar dan adil, yang memiliki semua persyaratan bagi jabatan khalifah dan imamah, dan yang karena meratanya keadilan dan keamanan maka semua bangsa tunduk kepadanya, semua kerajaan takluk kepadanya, dan baik lawan maupun kawan dari kalangan bangsawan hormat dan segan kepadanya”. Juga sesuai dengan judulnya, sebagaian besar dari isi buku itu berupa nasihat-nasihat kepada khalifah tentang bagaimana menangani masalah-masalah kenegaraan, termasuk bagaimana memilih pembantuan dan pejabat Negara, serta hubungan kerja antara khalifah dengan mereka. Tetapi sekalipun demikian dapat pula dilihat alur-alur pemikiran tentang tata negara.

Ibnu Abi Rabi’
Bentuk Pemerintahan
            Setelah lahir kota atau negara maka timbul masalah tentang otak masalah pengelola negara itu, yang memimpinnya, mengurus segala permasalahan rakyatnya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin suatu negara berdiri tanpa penguasa. Pemimpin atau pengelola yang melindungi warga-warganya dari gangguan dan bahaya yang timbul di antara mereka sendiri atau yang datang dari luar. Sebgaimana Plato, Ibnu Abi Rabi’ juga berpendapat bahwa seyogyanya penguasa atau pemimpin tersebut seorang yang termulia di negara atau kota itu, oleh karena seorang yang hendak melarang orang lain dari berbuat sesuatu dan memerintahkan warga lain untuk berbuat sesuatu haruslah orang yang dapat memberikan contoh terlebih dahulu.
    Dari sekian banyak bentuk pemerintahan, Ibnu Abi Rabi’ memilih monarki atau kerajaan di bawah pimpinan seorang raja atau penguasa tunggal, sebagai bentuk yang terbaik. Dia menolak bentuk-bentuk lain seperti aristokrasi, yaitu pemerintahan yang berada di tangan sekelompok kecil orang-orang pilihan atas dasar keturunan atau kedudukan. Oligarki, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok kecil orang kaya. Demokrasi, yaitu negara diperintah langsung oleh seluruh warga negara. Dan lebih-lebih demagogi, yaitu apabila para warganya memanfaatkan hak-hak politiknya yang diberikan oleh demokrasi secara tidak bertanggung jawab, yang kemudian menimbulkan kekacauan atau anarki. Alasan utama mengapa Ibnu Abi Rabi memilih monarki sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik adalah keyakinannya bahwa dengan banyak kepala, maka politik negara akan kacau dan sukar membina persatuan.
         Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa menurut Aristoteles terdapat tiga macam pemerintahan: pertama, yang dipimpin oleh seseorang. Kedua, yang dipimpin oleh sejumlah orang pilihan. Dan ketiga, yang diperintah secara langsung oleh semua warga negara. Pemerintahan di bawah seorang, tetapi dilaksanakan untuk kepentingan umum, oleh Aristoteles disebut kerajaan atau monarki. Pemerintahan yang dilakukan oleh segolongan kecil warga negara disebut aristokrasi, oleh karena mereka yang memerintah itu merupakan warga-warga pilihan dan terbaik, dan oleh karena perhatian mereka adalah kepentingan negara serta kebaikan seluruh warga negara. Kalau negara dikelola langsung oleh seluruh warga negara untuk kepentingan bersama, pemerintahan semacam itu disebut konstitusi. Tetapi kalau sang raja atau penguasa tunggal ini menyeleweng, perhatian tidak lagi pada kepentingan rakyat dan negara, serta bergeser kepada kepentingan pribadi raja, maka tidak lagi dapat disebut monarki tetapi tirani. Demikian juga aristokrasi, kalau titik berat perhatiannya hanya pada kepentingan golongan tertentu, yakni mereka yang berkedudukan tinggi dan berada, disebut oligarki. Kalau perhatian pemerintahan konstitusi menjadi terbatas kepada kepentingan warga negara yang miskin saja, disebut demokrasi.
        Pengaruh agama dan loyalitas kepada dinasti Abbasyiah juga tampak pada Ibnu Abi Rabi’ tentang dasar kekuasaan raja. Aristoteles, yang berpendirian bahwa monarki adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, memberikan alasan rasional mengenai kekuasaan istimewa untuk raja dengan menyatakan bahwa seorang raja “yang memiliki segala keutamaan” yang seba lebih dari para warga negara, tidak dapat dianggap sebagai bagian dari negara, dantidak harus tunduk kepada hukum negara seperti warga-warga yang lain. Bahkan, raja metupakan hukum, sumber dan pelaksana hukum. Karena serba lebih dalam segala keutamaan dan kemampuan politik, seorang raja berhak memaksakan pandangan dan perintahnya tanpa merusak keserasian hubungan dengan negara selama kebijaksanaannya tetap untuk kepentingan negara. Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar bagi otoritas dan hak istimewa raja dari ajaran agama. Dia mengatakan, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan, telah memperkokoh kedudukan mereka di bumi-Nya. Kepada mereka. Dalam hubungan ini dia mengemukakan dua ayat Al-Qur’an berikut ini:
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7­/u ßìƒÎŽ|  É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ  
Artinya: “dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-An’am: 165)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa: 59)
            Dari pernyataan Ibnu abi Rabi’ tersebut tampak bahwa menurut dia daasar kekuasaan dan otoritas raja adalah mandat dari Tuhan, yang telah memberikan kedudukan istimewa kepada mereka dengan keutamaan dan keunggulan, telah memperkokoh kekuasaan mereka di negara mereka, dan telah memberikan hak kepada mereka untuk memerintah hamba-hamba-Nya, dari semua tingkatan, untuk taat dan tunduk kepada mereka. Demi kesejahteraan negara.
            Tentang siapa yang berhak menjadi raja, Ibnu Abi Rabi’ mengemukakan enam syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat menjadi raja:
1.     Harus anggota dari keluarga raja, dan mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja sebelumnya.
2.     Aspirasi yang luhur
3.     Pandangan yang mantap dan kokoh.
4.     Ketahanan dalam menghadapi kesukaran/tantangan.
5.     Kekayaan yang besar.
6.     Pembantu-pembantu yang setia.
Suatu hal yang cukup menarik, bahwa berbeda dengan kebanyakan pemikir-pemikir politik Islam, dia tidak menjadikan keturunan Quraisy sebagai sebagai salah satu syarat untuk dapat menduduki jabatan khalifah atau kepala negara. Baginya cukup kalau calaon raja itu seorang anggota keluarga dekat dengan raja sebelum dia. Sikap “lunak” Ibnu Abi Rabi’ ini mungkin disebabkan oleh karena Dinasti Abbasyiah semasa pemerintahan Khalifah Mu’tashim masih sedemikian kokoh, sehingga tidak terbayangkan jabatan kepala negara dapat jatuh ke pihak lain di luar keturunan Abbas, yaitu salah satu cabang dari Bani (keturunan) Hasyim, salah satu komponen terkemuka dari suku Quraisy. Ibnu Abi Rabi’ tidak menyinggung pula cara pengangkatan para kepala negara, oleh karena sebagaimana semasa kekuasaan Umawiyah dalam “kamus politik” Abbasyiah tidak ada sistem lain kecuali turun-temurun, bahkan lebih ketat dan kental.

2.   Al-Farabi
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, demikian nama lengkapnya, dilahirkan di Utrar[2] (Farab) pada 257 H/870 M, Ayahnya adalah seorang jenderal berkebangsaan Persia dan Ibunya berkebangsaan Turki. dan Ia meninggal dunia di Damaskus pada 339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius.[3]
Konon dia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; yang pasti dia menguasai secara penuh empat bahasa: Arab, Persia, Turki, dan Kurdi. Pada usia sedikit diatas empat puluh tahun dia meninggalkan Farab, pergi ke Baghdad yang pada waktu itu merupakan ibukota Ilmu Pengetahuan, dan berguru pada Ilmuwan Kristen Nastura terkenal, Abu Bisyir Matta bin Yunus, penerjemah banyak karya tulis Plato dan pemikir-pemikir Yunani yang lain. Belum puas dengan apa yang didapatnya dari guru itu, Farabi berguru ke Ilmuwan Kristen yang lain di Harran, Yuhana bin Heilan, pada zaman pemerintahan Khalifah Abbasiyah Muqtadir. Kemudian dia belajar ilmu bahasa, logika (manthiq), ilmu pasti, kedokteran dan musik, dari guru-guru lain, diantaranya Abu Bakar bin Siraj.
Al-Farabi mukim selama dua puluh tahun di Baghdad dan kemudian tertarik oleh pusat kebudayaan lain di Aleppo. Disana, ditempat orang-orang brilian dan para sarjana, Istana Saif al-Daulah, berkumpul para penyair, ahli bahasa, filosof, sarjana-sarjana kenamaan lainnya. Meski ada simpati kuat kearaban dari istana tersebut, namun tidak ada rasa ke-ras-an atau prasangka yang dapat merusak suasana intelektual dan kultural, yang didalamnya orang-orang Persia, Turki, dan Arab berdiskusi dan berdebat, sepakat, atau berbeda pendapat tanpa mencari keuntungan pribadi dalam menuntut ilmu pengetahuan. Di Istana tersebut, Al-farabi tinggal. Kehidupan yang gemerlap dan kemegahan istana itu tidak mempengaruhinya. Ia membebani dirinya dengan tugas berat seorang sarjana dan pengajar; ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana gemericik air sungai dan di bawah dedaunan pohon yang rindang.[4]
Al-Farabi terkenal sebagai salah satu tokoh filusuf Islam yang memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuwan, dan memandang filsafat secara utuh, sehingga filsuf Islam yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Ia berusaha untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles melalui risalahnya al-jam’u Baina Ra’yay al-Hakimain, Aflathun wa Aristhu. Dalam bidang filsafat ia digelar dengan al-Mu’allim al-Tsani (Guru Kedua), sedang yang digelari sebagai al-Mu’allim al-Awwal (Guru Pertama) ialah Aristoteles.[5]
Hasil karya Al-Farabi sebenarnya sangat banyak, akan tetapi sangat sedikit yang sampai kepada kita (dikenal masyarakat).boleh jadi karena karangan-karangan Al-Farabi hanya berupa risalah (karangan pendek), dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karangannya telah hilang dan yang masih ada kurang lebih 30 buah saja yang ditulis daam bahasa arab.
Pada Abad pertengahan, Al-Farabi sangat terkenal sehingga orang-orang yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangannya dan menerjemahkannya kedalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang salinan-salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di Eropa. Disamping karya-karya Al-farabi tersebut diatas, ia juga menulis karya-karya lain seperti:[6]
1.     Tahshil al-Sa’adah (Jalan Mencapai Kebahagiaan);
2.     Ara-ahl Al-Madinah Al-Fadhilah ( Pandangan-pandangan Para penghuni Negara yang Utama)
3.     ‘Uyun al-Masa’il (Pokok-Pokok persoalan)
4.     Al-Siyasah al-Madaniyah (politik Kenegaraan)
5.     Ihsha’ al-Ulum ( Statistik Ilmu)





















[1] H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hal. 41-42
[2] Kota ini dahulu bernama Wasij, dan sekarang Utrar, termasuk wilayah Iran, namun belakangan menjadi bagian dari republik Uzbekistan.
[3] Umar Amir Hosein, Kultur Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 32
[4] M.M. Syarif, M.A. Para Filosof Muslim, hal.57-58
[5] A. Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), hal.89
[6] Muhammad Iqbal, H. Amin Husein Nasution,  Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, hal. 6-7